Bel istirahat akan berakhir berapa menit
lagi. Helga harus segera membawa buku tugas teman-temannya ke ruang guru
sebelum bel berbunyi. Jabatan wakil ketua kelas membuatnya sibuk seperti ini.
Gubrak…. Buku-buku yang dibawa Helga jatuh semua. Orang yang menabrak entah
lari kemana. Jangankan menolongnya, meminta maaf pun tidak.
“Sial! Lari nggak pakek mata apa ya...” rutuk
Helga. Dengan wajah masam ia mulai jongkok untuk merapikan buku-buku yang
terjatuh. Belum selesai Helga merapikan terdengar langkah kaki yang datang
menghampirinya.
“Kasian banget. Bukunya jatuh semua ya?”
cemoh seorang cowok dengan senyum sinis. Sejenak Helga berhenti merapikan
buku-buku, ia mencoba melihat orang yang berani mencemohnya. Ternyata dia lagi.
Cowok berpostur tinggi dengan rambut yang selalu berantakan. Sumpah! Helga
benci banget sama cowok ini. Seumur hidup Helga nggak bakal bersikap baik sama
cowok yang ada di depannya ini. Lalu Helga mulai melanjutkan merapikan buku
tanpa menjawab pertanyaan cowok tersebut.
Cowok tinggi itu sepintas mengernyitkan
alisnya. Dan kembali ia tercenung karena cewek di depannya tidak menanggapi.
Biasanya kalau Helga terpancing dengan omongannya, perang mulut pun akan
terjadi dan takkan selesai sebelum seseorang datang melerai.Teeeett… Bel tanda
berakhirnya jam istirahat terdengar nyaring. “Maksud hati pengen bantu temen
gue yang jelek ini. Tapi apa daya udah keburu bel. Jadi sori nggak bisa bantu.”
ucap cowok tersebut sambil menekan kata jelek di pertengahan kalimat.
Cowok tersebut masih menunggu reaksi cewek
yang ada di depannya. Tapi yang ditunggu tidak membalas dengan cemohan atau pun
ejekan. “Lo berubah.” gumam cowok tersebut lalu berbalik bersiap masuk ke
kelasnya. Begitu cowok itu membalikkan badannya, Helga yang sudah selesai
membereskankan buku mulai memasang ancang-ancang. Dengan semangat 45 Helga
mulai mengayunkan kaki kanannya kearah kaki kiri cowok tersebut dengan keras.
“Adooooww” pekik cowok tersebut sambil
menggerang kesakitan.
“Makan tuh sakit!!” ejek Helga sambil berlari
membawa buku-buku yang tadi sempat berserakan. Bisa dibayangkan gimana sakitnya
tuh kaki. Secara Helga pakek kekuatan yang super duper keras. Senyum kemenangan
menghiasi di wajah cewek tinggi kurus tersebut.
“Helga…”
Helga menoleh untuk Melihat siapa yang
memanggilnya. Ternyata dari kejauhan Catherine teman baiknya sejak SMP sedang
berlari kearahnya. Dengan santai Helga membalikkan badannya berjalan mencari
motor matic kesayangannya. Ia sendiri lupa dimana menaruh motornya. Helga emang
paling payah sama yang namanya mengingat sesuatu. Masih celingak-celinguk
mencari motor, Catherine malah menjitak kepalanya dari belakang.
“Woi non, tuli ya? Nggak denger teriakan gue.
Temen macem apaan yang nggak nyaut sapaan temennya sendiri.” ucap Catherine
dengan bibir monyong. Ciri khas cewek putih tersebut kalo lagi ngambek.
“Sori deh Cath. Gue lagi bad mood, pengen
cepet pulang.”
“Bad mood? Jelas-jelas lo tadi bikin gempar
satu kelas. Udah nendang kaki cowok ampe tuh cowok permisi pulang, nggak minta
maaf lagi.” jelas Catherine panjang lebar.
“Hah? Sampe segitunya? Kan gue cuma nendang
kakinya, masak segitu parahnya?” Helga benar-benar nggak nyangka. Masa sih
keras banget? Tuh cowok ternyata bener-bener lembek, pikirnya dalam hati.
“Nendang sih nendang tapi lo pakek tendangan
super duper. Kasian Garry lho.”
“Enak aja. Orang dia yang mulai duluan.”
bantah Helga membela diri.
Sejenak Catherine terdiam, lalu berlahan
bibirnya tersenyum tipis. “Kenapa sih kalian berdua selalu berantem? Masalahnya
masih yang itu? Itu kan SMP. Dulu banget. ” ujar Catherine polos, tanpa
bermaksud mengingatkan kejadian yang lalu. “Lagi pula gue udah bisa nerima kalo
Garry nggak suka sama gue.”
“Tau ah gelap!”
***
Bel pulang berbunyi nyaring bertanda jam
pelajaran telah usai. Cuaca yang sedemikian panas tak menyurutkan niat para
siswa SMA Harapan untuk bergegas pulang ke rumah. Helga sendiri sudah
membereskan buku-bukunya. Sedangkan Catherine masih berkutat pada buku
catatanya lalu sesekali menoleh ke papan tulis.
“Makanya kalo nulis jangan kayak kura-kura.”
Dengan gemas Helga menjitak kepala Catherine. “Duluan ya, Cath. Disuruh nyokap
pulang cepet nih!” Catherine hanya mendengus lalu kembali sibuk dengan
catatanya.
Saat Helga membuka pintu kelas, seseorang
ternyata juga membuka pintu kelasnya dari luar. “Eh, sori..” ucap Helga kikuk.
Tapi begitu sadar siapa orang yang ada di depannya, Helga langsung ngasi
tampang jutek kepada orang itu. “Ngapaen lo kesini? Masih sakit kakinya? Apa
cuma dilebih-lebihin biar kemaren pulang cepet? Hah? Jadi cowok kok banci
baget!!!”
Jujur Garry udah bosen kayak gini terus sama Helga.
Dia pengen hubungannya dengan Helga bisa kembali seperti dulu. “Nggak usah cari
gara-gara deh. Gue cuma mau cari Catherine.” ucap Garry dingin sambil celingak
celinguk mencari Catherine. “Hey Cath!” ucap Garry riang begitu orang yang
dicarinya nongol.
“Hey juga. Jadi nih sekarang?” Catherine
sejenak melirik Helga. Lalu dilihatnya Garry mengangguk bertanda mengiyakan.
“Hel, kita duluan ya,” ujar Catherine singkat.
Helga hanya benggong lalu dengan cepat mengangguk.
Dipandangi Catherine dan Garry yang kian jauh. Entah kenapa, perasaanya jadi
aneh setiap Cathihat mereka bersama. Seperti ada yang sakit di suatu organ
tubuhnya. Biasanya Garry selalu mencari masalah dengannya. Namun kini berbeda. Garry
tidak menggodanya dengan cemohan atau ejekan khasnya. Garry juga tidak
menatapnya saat ia bicara. Seperti ada yang hilang. Seperti ada yang pergi dari
dirinya.
***
Byuuurr.. Fanta rasa stowberry menggalir
deras dari rambut Helga hingga menetes ke kemeja putihnya. Helga nggak bisa melawan.
Ia kini ada di WC perempuan. Apalagi ini jam terakhir. Nggak ada yang akan bisa
menolongnya sampai bel pulang berbunyi.
“Maksud lo apa?” bentak Helga menantang. Ia
nggak diterima di guyur kayak gini.
“Belum kapok di guyur kayak gini?” balas cewek
tersebut sambil menjambak rambut Helga. “Tha, mana fanta jeruk yang tadi?” ucap
cewek itu lagi, tangan kanannya masih menjambak rambut Helga. Thata langsung
memberi satu botol fanta jeruk yang sudah terbuka.
“Lo mau gue siram lagi?” tanya cewek itu
lagi.
Halo??!! Nggak usah ditanya pun, orang bego
juga tau. Mana ada orang yang secara sukarela mau berbasah ria dengan fanta
stroberry atau pun jeruk? Teriak Helga dalam hati. Ia tau kalau cewek di
depannya ini bernama Linda. Linda terkenal sesaentro sekolah karena
keganasannya dalam hal melabrak orang. Yeah, dari pada ngelawan terus sekarat
masuk rumah sakit, mending Helga diem aja. Ia juga tau kalo Linda satu kelas
dengan Garry. Wait, wait.. Garry??? Jangan-jangan dia biang keladinya. Awas lo Garr,
sampe gue tau lo biang keroknya. Gue bakal ngamuk entar di kelas lo!
“Gue rasa, gue nggak ada masalah ama lo.”
teriak Helga sambil mendorong Linda dengan sadisnya. Helga benar-benar nggak
tahan sama perlakuan mereka. Bodo amat gue masuk rumah sakit. Yang jelas ni
nenek lampir perlu dikasi pelajaran.
Kedua teman Linda, Thata dan Mayang dengan
sigap mencoba menahan Helga. Tapi Helga malah memberontak. “Buruan Lin, ntar
kita ketahuan.” kata Mayang si cewek sawo mateng.
Selang beberapa detik, Linda kembali
mengguyur Helga dengan fanta jeruk. “Jauhin Garry. Gue tau lo berdua temenan
dari SMP! Dulu lo pernah nolak Garry. Tapi kenapa lo sekarang nggak mau
ngelepas Garry?!!”
“Maksud lo?” ledek Helga sinis. “Gue nggak
kenal kalian semua. Asal lo tau gue nggak ada apa-apa ama Garry. Lo nggak liat
kerjaan gue ama tuh cowok sinting cuma berantem?”
Plaakk.. Tamparan mulus mendarat di pipi Helga.
“Tapi lo seneng kan?” teriak Linda tepat disebelah kuping Helga. Kesabaran Helga
akhirnya sampai di level terbawah.
Buuugg! Tonjokan Helga mengenai tepat di
hidung Linda. Linda yang marah makin meledak. Perang dunia pun tak terelakan.
Tiga banding satu. Jelas Helga kalah. Tak perlu lama, Helga sudah jatuh
terduduk lemas. Rambutnya sudah basah dan sakit karena dijambak, pjpinya sakit
kena tamparan. Kepalanya terasa pening.
“Beraninya cuma keroyokan!” bentak seorang
cowok dengan tegas. Serempak trio geng labrak menoleh untuk melihat orang itu, Helga
juga ingin, tapi tertutup oleh Linda. Dari suaranya Helga sudah tau. Tapi Ia
nggak tau bener apa salah.
“Pergi lo semua. Sebelum gue laporin.” ujar
cowok itu singkat. Samar-samar Helga melihat geng labrak pergi dengan
buru-buru. Lalu cowok tadi menghampiri Helga dan membantunya untuk berdiri. “Lo
nggak apa-apa kan, Hel?”
“Nggak apa-apa dari hongkong!?”
***
Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Helga dan
Garry berada di ruang UKS. Helga membaringkan diri tempat tidur yang tersedia
di UKS. Garry memegangi sapu tangan dingin yang diletakkan di sekitar pipi Helga.
Helga lemas luar biasa. Kalau dia masih punya tenaga, dia nggak bakalan mau
tangan Garry nyentuh pipinya sendiri. Tapi karena terpaksa. Mau gimana lagi.
“Ntar lo pulang gimana?” tanya Garry polos.
“Nggak gimana-mana. Pulang ya pulang.” jawab Helga
jutek. Rasanya Helga makin benci sama yang namanya Garry. Gara-gara Garry
dirinya dilabrak hidup-hidup. Tapi kalau Garry nggak datang. Mungkin dia bakal
pingsan duluan sebelum ditemukan.
“Tadi itu cewek lo ya?” ucap Helga dengan
wajah jengkel.
“Nggak.”
“Trus kok dia malah ngelabrak gue? Isi nyuruh
jauhin lo segala. Emang dia siapa? “ rutuk Helga kesal seribu kesal. Ups! Kok
gue ngomong kayak gue nggak mau jauh-jauh ama Garry. Aduuuhh…
Garry sejenak tersenyum. “Dia tuh cewek yang
gue tolak. Jadi dia tau semuanya tentang gue dan termasuk tentang lo” ucap Garry
sambil menunjuk Helga.
Helga diam. Dia nggak tau harus ngapain
setelah Garry menunjuknya. Padahal cuma nunjuk. “Ntar bisa pulang sendiri kan?”
tanya Garry.
“Bisalah. Emang lo mau nganter gue pulang?”
“Emang lo kira gue udah lupa sama rumah lo?
Jangan kira lo nolak gue terus gue depresi terus lupaen segala sesuatu tentang
diri lo. Gue masih paham bener tentang diri lo. Malah perasaan gue masi sama
kayak dulu.” jelas Garry sejelas-selasnya. Garry pikir sekarang udah saatnya
ngungkapin unek-uneknya.
“Lo ngomong kayak gitu lagi, gue tonjok jidat
lo!” ancam Helga. Nih orang emang sinting. Gue baru kena musibah yang bikin
kepala puyeng, malah dikasi obrolan yang makin puyeng.
“Perasaan gue masih kayak dulu, belum berubah
sedikit pun. Asal lo tau, gue selalu cari gara-gara ama lo itu ada maksudnya.
Gue nggak pengen kita musuhan, diem-dieman, atau apalah. Pas lo nolak gue, gue
nggak terima. Tapi seiring berjalannya waktu, kita dapet sekolah yang sama. Gue
coba buat nerima. Tapi nggak tau kenapa lo malah diemin gue. Akhirnya gue
kesel, dan tanpa sadar gue malah ngajakin lo berantem.” Sejenak Garry menanrik
nafas. “Lo mau nggak jadi pacar gue? Apapun jawabannya gue terima.”
Hening sejenak diantara mereka berdua.
“Kayaknya gue pulang duluan deh.” Ucap Helga sambil buru-buru mengambil tasnya.
Inilah kebiasaan Helga, selalu mengelak selalu menghindar pada realita. Ia
bener-bener nggak tau harus ngapaen. Dulu ia nolak Garry karena Catherine juga
suka Garry. Tapi sekarang?
“Besok gue udah nggak sekolah disini. Gue
pindah sekolah.” Garry berbicara tepat saat Helga sudah berada di ambang pintu
UKS.
Helga diam tak sanggup berkata-kata.
Dilangkahkan kakinya pergi meninggalkan UKS. Meninggalkan Garry yang termenung
sendiri.
Kelas masih sepi. Hanya ada beberapa murid
yang baru datang. Diliriknya bangku sebelah. Catherine belum datang. Helga
sendiri tumben datang pagi. Biasanya ia datang 5 menit sebelum bel, disaat
kelas sudah padat akan penduduk. Semalam Helga nggak bisa tidur. Entah kenapa
bayangan Garry selalu terbesit di benaknya. Apa benar Garry pindah sekolah?
Kenapa harus pindah? Peduli amat Garry mau pindah apa nggak, batin Helga.
“Argggg… Kenapa sih gue mikir dia terus?”
“Mikirin Garry maksud lo?” ucap Catherine
tiba-tiba udah ada disamping Helga. “Nih hadiah dari pangeran lo.” Dilihatnya Catherine
mengeluarkan kotak biru berukuran sedang. Karena penasaran dengan cepat Helga
membuka kotak tersebut. Isinya bingkai foto bermotif rainbow dengan foto Helga
dan Garry saat mengikuti MOS SMP didalamnya. Terdapat sebuah kertas. Dengan
segera dibacanya surat tersebut.
Dear Helga,
Inget ga pertama kali kita kenalan? Pas itu lo nangis gara-gara di hukum
ama osis. Dalam hati gue ketawa, kok ada sih cewek cengeng kayak gini? Hehe..
kidding. Lo dulu pernah bilang pengen liat pelangi tapi ga pernah kesampaian.
Semoga lo seneng sama pelangi yang ada di bingkai foto. Mungkin gue ga bisa
nunjukin pelangi saat ini coz gue harus ikut ortu yang pindah tugas. Tapi suatu
hari nanti gue bakal nunjukin ke lo gimana indahnya pelangi. Tunggu gue dua
tahun lagi. Saat waktu itu tiba, ga ada alasan buat lo ga mau jadi pacar gue.
“Kenapa lo nggak mau nerima dia? Gue tau lo
suka Garry tapi lo nggak mau nyakitin gue.” sejenak Catherine tersenyum.
“Percaya deh, sekarang gue udah nggak ada rasa sama Garry. Dia cuma temen kecil
gue dan nggak akan lebih.”
“Thanks Cath. Lo emang sahabat terbaik gue.”
ucap Helga tulus. “Tapi gue tetap pada prinsip gue.”
Catherine terlihat menerawang. “Jujur, waktu
gue tau Garry suka sama lo dan cuma nganggep gue sebagai temen kecilnya. Gue
pengen teriak sama semua orang, kenapa dunia nggak adil sama gue. Tapi seiring
berjalannya waktu gue sadar kalo nggak semua yang kita inginkan adalah yang
terbaik untuk kita.” senyum kembali menghiasi wajah mungilnya. “Dan lo harus
janji sama gue kalo lo bakal jujur tentang persaan lo sama Garry. Janji?”
lanjut Catherine sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Ingin rasanya Helga menolak. Catherine
terlalu baik baginya. Dia sendiri tau sampai saat ini Catherine belum
sepenuhnya melupakan Garry. Tapi Helga juga tak ingin mengecewakan Catherine.
Berlahan diangkatnya jari kelingkingnya.
“Janji..” gumam Helga lirih.