Adanya kesenjangan sosial yang semakin hari
semakin memprihatinkan membuat banyak orang makin amburadul,khususnya di
lingkungan perkotaan. Orang-orang desa yang merantau dikotapun ikut terkena
dampak dari hal ini,memang benar kalau dikatakan bahwa “ Yang kaya makin
kaya,yang miskin makin miskin”. Adanya ketidak pedulian terhadap sesama ini
dikarenakan adanya kesenjangna yang terlalu mencolok antara yang “kaya” dan
yang “miskin”. Banyak orang kaya yang memandang rendah kepada golongan
bawah,apalagi jika ia miskin dan juga kotor,jangankan menolong,sekedar
melihatpun mereka enggan.
Disaat banyak anak-anak jalanan yang tak
punya tempat tinggal dan tidur dijalanan, namun masih banyak orang yang
berleha-leha tidur di hotel berbintang ,banyak orang diluar sana yang kelaparan
dan tidak bisa memberi makan untuk anak-anaknya tapi lebih bnyak pula orang
kaya sedang asyik menyantap berbagai makanan enak yang harganya selangit.
Disaat banyak orang-orang miskin kedinginan karena pakaian yang tidak layak
mereka pakai,namun banyak orang kaya yang berlebihan membeli pakaian bahkan tak
jarang yang memesan baju dari para designer seharga 250.000 juta,dengan harga
sebnyak itu seharusnya sudah dapat memberi makan orang-orang miskin yang
kelaparan.
Pemerintah harusnya lebih memperhatikan
masalah yang seperti ini,pembukaan UUD 45 bahkan telah memberi amanat kepada
pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa,harusnya
orang-orang yang berada di pemerintahan lebih serius untuk memikirkan
kepentingan bangsa yang memang sudah menjadi tanggung jawab mereka,tapi dari
kasus-kasus yang sekarang ini tentang para anggota pemerintahan yang melakukan
korupsi dapat menunjukan bahwa tidak sedkit dari mereka masih memikirkan
kepentingannya masing-masing,uang dan biaya yang seharusnya untuk kemakmuran
masyarakat dimakan oleh mereka sendiri.Kalaupun pada akhirnya mereka
mendapatkan hukuman itu bukanlah “hukuman” yang sebenarnya,banyak dari mereka
masih tetap hidup mewah walaupun mereka dalam kurungan penjara yang seharusny
memebuat mereka jera.
Agama mengajarkan agar masing-masing dari
kita memiliki kepekaan sosial. Agar mau memanfaatkan rezeki dari
pendapatan,kekayaan,kepintaran dan kemampuannya untuk kepentingan bersama.
Bahkan kita sebagai manusia juga diharuskan untuk saling tolong menolong kepeda
sesamanaya. Namun dalam kenyataanya,semua itu hanyalah mimpi semu dan kenyataan
yang tak pernah menjadi nyata…..Karena sampai sekarang disekitar kita masih
banyak anak-anak terlantar,pengemis,dan kelaparan yang merajalela. Masih
segudang orang miskin yang mengaharapkan bantuan dari tangan orang yang berhati
dermawan,bukan hanya bantuan materil semata tapi juga
keadilan,kemakmura,perlakuan baik dan segudang hak-hak mereka sebagai manusia
dan warga Negara Indonesia yang pantas mereka dapatkan seperti layaknya orang
lain,bukan hanya memandang sebelah mata kepada mereka.Dengan keadaan sosial
masyarakat Indonesia yang makin memprihatinkan,timbul pertanyaan siapakah yang
bertanggung jawab atas kegagalan dalam mensejahterkan bangsa ini?
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar mengeluhkan masih tingginya kesenjangan
sosial antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat Indonesia. “Ini akibat
implikasi dari konstruksi sosial yang melahirkan diskriminasi perempuan,” kata
dia dalam pidatonya pada acara Seminar Ikatan Alumni Institut teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya di Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Rabu 18 April 2012.
Ia mencontohkan hasil Gender-related
Development Index (GDI) pada 2012. Indeks pembangunan gender tersebut mengukur
tingkat capaian pembangunan berbasis gender dengan tiga variabel, yaitu
pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Nilai rata-rata GDI di seluruh provinsi di
Indonesia pada 2010 adalah 67,2. "Namun, hanya sembilan provinsi yang
memiliki GDI di atas nilai rata-rata nasional," kata dia. Contoh provinsi
tersebut adalah Jakarta, Yogyakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Ia
mengindikasikan bahwa kesenjangan capaian antara perempuan dan laki-laki pada
tiga bidang pembangunan strategis tersebut masih terjadi.
Selain data GDI, Linda mencontohkan data
persentase perempuan yang duduk di
legislatif pada pemilu 2009. Hasil pemilu tersebut menunjukkan hanya ada 18
persen perempuan yang duduk menjadi anggota Dewan perwakilan Rakyat. Sedangkan
di Dewan Perwakilan Daerah, jumlah perempuan hanya 60 orang dari 246 anggota
DPD, atau sekitar 22,7 persen. Sedangkan di yudikatif, baik pada Mahkamah
Konstitusi maupun Mahkamah Agung, posisi strategis yang diisi perempuan baru
5,88 persen.Linda mengatakan data tersebut seharusnya dapat menggugah kesadaran
kaum perempuan kesadaran bahwa posisi perempuan masih di bawah laki-laki.
"Padahal dari segi edukasi perempuan dan laki-laki tidak berbeda
jauh," kata dia. Ia menjelaskan, dari total jumlah penduduk usia 15 tahun
ke atas, 6,62 persen perempuan melanjutkan ke pendidikan tinggi, sedangkan
laki-laki 7,12 persen.
Pada pidato yang sama, ia mengatakan masih
banyak diskriminasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan
analisanya, hal tersebut merupakan implikasi dari konstruksi sosial yang
melahirkan diskriminasi perempuan. Menurutnya masih banyak masyarakat yang
memiliki pola pemikiran yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah dari
pada laki-laki. Sayangnya, kata dia, konstruksi sosial itu telah melekat
bertahun-tahun pada masyarakat dan dijadikan mempengaruhi perempuan hingga
dirinya enggan mengembangkan potensinya.
Referensi:
No comments:
Post a Comment